Hasrat Bunda Iren
Bahkan Mariam pun kuwanti-wanti terus, agar jangan sampai membocorkan rahasiaku kalau kebetulan ia berjumpa dengan Papa atau Mama. Maka ketika Yadi menawarkan perceraian secara baik-baik, lalu menyiapkan calon suami yang dianggap baik olehnya, aku pun langsung setuju saja. Maka terjadilah proses singkat tapi bermakna besar bagi kehidupanku ini. Bahwa aku bercerai secara baik-baik dengan Yadi, kemudian menjadi istri Kang Eman yang usianya jauh lebih tua dariku itu. Yadi pun tidak mau mengganggu gugat segala harta benda yang telah diberikannya padaku.
Ia cuma menyarankan agar kedua rumah kosku itu tidak dimunculkan kepada Kang Eman, bahkan mobilku pun tak usah dipamerkan kepada suami baruku itu. Jadi ketika aku menikah dengan Kang Eman, aku bersikap seolah tak punya apa-apa selain dari perhiasan yang kupakai. Sementara harta benda yang kumiliki dari perkawinanku dengan Yadi, kutitipkan kepada Dayu. Kedua rumah kosku itu pun kuserahkan pengelolaannya kepada Dayu. Hanya sesekali aku mengecek masalah keuangannya. Dan Dayu memang wanita yang sangat bisa dipercaya.
Setiap kali aku datang memeriksa pembukuannya, aku merasa managemen yang Dayu jalankan membuat kedua rumah kosku itu bertambah sehat. Setelah menghuni rumah yang disediakan oleh suami baruku, aku merasa bahwa aku tidak jatuh ke tangan yang salah. Karena Kang Eman sangat menyayangiku, bahkan cenderung memanjakanku. Maklum usiaku jauh lebih muda darinya. Lebih dari itu semua, Kang Eman pun termasuk seorang pengusaha yang sukses, meski bisnisnya agak tradisional (memproduksi minuman tradisional dalam kemasan botol dan gelas plastik).
Dari perkawinannya dengan almarhum istri pertamanya, Kang Eman memiliki dua orang anak cowok. Yang besar sudah diterima di sebuah perguruan tinggi terkenal tapi belum mulai kuliah, sementara yang kecil baru naik kelas 3 SMA. Anak tiriku yang besar bernama Prima Pratama (mungkin karena anak pertama), sementara anak kedua bernama Dwinanda (mungkin karena anak kedua). Anak pertama biasa dipanggil Pri saja, sementara anak kedua biasa dipanggil Nanda. Kedua anak tiriku itu tampak senang dengan kehadiranku sebagai pengganti ibu mereka yang sudah tiada. Mereka sangat baik padaku.
Kang Eman pun menyuruh kedua anaknya itu memanggilku Bunda, sementara Kang Eman sendiri dipanggil Ayah oleh kedua anaknya itu. Yang melegakan hatiku, kedua anak tiriku itu tak pernah tersesat pergaulannya. Sehingga mereka tak pernah mengenal narkoba, bahkan merokok pun tidak. Punya anak cowok di zaman sekarang memang tidak gampang mengawasinya. Kalau salah didik dan pengawasannya, mungkin saja tenggelam ke dalam arus pergaulan yang tidak sehat.
Meski belum punya anak, aku merasa senang mendengar Prima dan Nanda memanggilku Bunda. Biarlah mereka menganggapku sebagai pengganti ibu mereka yang sudah almarhumah, meski usiaku baru 30 tahun. Keseharianku di rumah ini cukup nyantai. Karena ada 3 orang pembantu yang tugasnya berbeda-beda. Cicih bertugas bersih-bersih rumah dan pekarangan depan, cukup banyak juga tugasnya, karena rumahnya 3 lantai dan luas tiap lantai sama. Sari bertugas masak dan cuci piring. Cucun bertugas mencuci pakaian dan menyetrika. Ada juga pembantu pria, Japri namanya.
Ia bertugas khusus untuk merawat taman dan kebun yang terletak di belakang rumah. Banyak juga pohon buah-buahan di belakang rumah, yang harus dirawat tiap hari. Apalagi di musim kemarau, harus rajin menyirami sampai tanahnya benar-benar basah. Tanaman hias apalagi, harus diperlakukan dengan rajin dan cermat. Ada masanya harus diberi pupuk, agar tumbuhnya tetap subur. Rumah besar dan megah ini terletak di kota kecamatan. Hanya kota kecil yang belasan kilometer jaraknya kalau mau menuju kota besar.
Di kecamatan ini, sudah banyak rumah yang besar dan modern bentuknya. Tapi mungkin rumah kami ini yang paling besar dan paling megah. Beberapa mobil yang dimiliki oleh suamiku juga mengikuti trend masa kini, meski tiada yang semahal mobil punya Yadi, mantan suamiku. Sebelum menikah dengan Kang Eman, yang usianya sudah 45 tahun lebih itu, satu-satunya kesangsianku adalah masalah seksual. Bisakah ia memberiku kepuasan batin setelah menjadi suamiku ? Namun setelah menikah dengannya aku merasa tiada masalah dalam hal yang satu itu. Karena ia masih perkasa dan sanggup memberiku kepuasan.
Hanya saja ia sering ke luar kota, karena pola bisnisnya jauh berbeda dengan pola bisnis Yadi. Yadi mempraktekkan manajemen modern, segala sesuatu diserahkan kepada the right man on the right place, sementara Yadi hanya mengawasi saja dari kejauhan. Dan hanya sesekali Yadi turun ke lapangan. Kang Eman justru masih berpatokan pada pola-pola tradisional. Ia selalu ngecek stock barang di supermarket atau mall atau hotel-hotel. Lalu ia mencatat di mana saja yang stocknya sudah menipis atau habis dan sudah mulai harus dikirimi barang. Katakanlah usaha suami baruku itu segala dikerjakan sendiri. Dan aku tidak berani memberikan saran apa pun, karena takut membuatnya tersinggung dan merasa digurui.
Padahal aku pernah bekerja di perusahaan asing yang cukup besar di Jakarta, sehingga aku tahu pasti bagaimana langkah- langkah bisnis perusahaan itu. Yadi juga melakukan hal yang sama. Semua pekerjaan diserahkan kepada ahlinya, sementara Yadi hanya mengawasi saja lewat internet. Seringnya Kang Eman mengurusi bisnisnya di beberapa kota yang jauh dari kotaku, terkadang membuatku kesepian. Tapi aku berusaha untuk menindas perasaan kesepianku dengan mencari kegiatan di rumah. Misalnya dengan mempraktekkan bikin kue sendiri, dengan resep yang kuambil dari internet. Masakan-masakan Eropa pun kucoba untuk memasaknya sendiri, juga berdasarkan resep yang kuambil dari internet.
Pada waktu suamiku pulang, kuhidangkan kue-kue buatanku yang kusimpan di kulkas itu. Juga pada waktu kuhidangkan steak buatanku sendiri, dia kelihatan bangga punya istri yang “trampil” seperti aku ini. Aku senang juga bisa membahagiakan Kang Eman yang begitu menyayangiku. Dan perkawinanku dengannya terasa sebagai perkawinan yang normal. Bukan perkawinan bermasalah seperti waktu menjadi istri Yadi dahulu.
Lalu…apakah perkawinanku dengan Kang Eman berjalan mulus tanpa cela sedikit pun ? Ya…selama berbulan-bulan menjadi istri Kang Eman, tiada masalah sekecil apa pun, kecuali hasrat birahiku yang terkadang menggeliat-geliat sendiri pada waktu suamiku sedang di luar kota. Sampai pada suatu saat…. Pagi itu aku baru selesai mandi dan mau berdandan karena mau berangkat ke mall, sekalian mau membeli karpet kamarku, untuk mengganti karpet lama yang tampak sudah kusam dan gundul-gundul di sana-sini. Saat itu aku baru mengenakan celana dalam, lalu berkaca di depan cermin sambil menilai diriku sendiri seobjektif mungkin.
Baca : Dita Tetangga Baru
Tiba-tiba terdengar suara di sampingku,
“Maaf Bunda…ada paket yang…yang ha…harus ditandatangani sama Bunda dulu…ma..maaaf…” Suara Prima terdengar tersendat-sendat, mungkin karena kaget dan gugup melihat keadaanku yang belum mengenakan pakaian lengkap.
Aku terkejut. Saking asyiknya memandang bayanganku di cermin besar itu sampai tak terdengar bunyi langkah Prima memasuki kamarku. Selain daripada itu, bunyi musik yang kusetelkan di dalam kamarku ini mungkin terlalu kencang, sehingga langkah Prima tak terdengar. Dalam kaget kututupi sepasang payudaraku dengan kedua tanganku. Dan bersikap biasa-biasa saja. Bukankah cowok 18 tahunan itu sudah kuanggap anak sendiri ?
“Paket dari Batam ?” tanyaku tanpa berani mengambil resi yang harus kutandatangani itu.
Karena kalau kuambil resi itu, berarti tanganku akan bergerak menjauhi payudaraku. Dan itu berarti payudaraku akan terbuka di depan mata anak tiriku.
“Iya Bunda.”
“Ya udah simpan resinya di meja itu. Bunda mau berpakaian dulu.” Prima meletakkan resi itu di meja kecil.
Dan aku bergegas mengenakan kimono, tanpa mengenakan beha terlebih dahulu. Lalu kutandatangani tanda bukti pengiriman dari perusahaan ekspedisi itu. Prima masih berdiri di ambang pintu kamarku, lalu kuserahkan kertas itu padanya. Dan ia bergegas menuju ruang depan. Kemudian kembali lagi ke kamarku, mengantarkan paket kiriman dari Batam, dari Mama tersayangku. Sepintas seperti tidak ada masalah pagi itu. Namun sejak saat itulah sikap Prima jadi lain dari biasanya.
Sejak aku menjadi istri Kang Eman, ke mana-mana aku suka ditemani oleh Prima. Terkadang aku sendiri yang nyetir, terkadang Prima yang nyetir. Karena meski usianya baru 18n tahun, ia sudah mahir mengemudikan mobil. Biasanya, kalau sedang menemaniku pergi-pergian, Prima suka banyak bicara tentang apa saja. Termasuk soal kuliahnya yang baru mulai di semester pertama. Tapi sejak pagi itu, sejak Prima nyelonong ke dalam kamarku dan memergokiku cuma bercelana dalam saja itu, sikap Prima jadi berbeda dengan biasanya. Aku heran juga. Dan pernah menanyakannya pada suatu kesempatan, ketika Prima sedang “mengawalku” ke sebuah mall. Di sebuah café, aku mulai berusaha membalasnya,
“Kamu kenapa Pri? Belakangan ini keliatannya kayak yang murung gitu ? Ada sesuatu yang membuatmu sedih…atau ada sesuatu yang membuatmu marah ?”
“Ah…gak ada apa-apa Bunda.”
“Bunda sampe mikir, jangan-jangan kamu tu marah atau sakit hati sama bunda.”
“Iiih…gak Bunda. Mana mungkin saya sakit hati sama orang sebaik Bunda ?!”
“Terus kenapa kamu kok gak seperti dulu lagi ? Biasanya suka ngajak ngobrol, ngomongin yang lucu-lucu dan sebagainya. Tapi sekarang kamu sangat berubah. Seperti mikirin sesuatu…mikirin masalah berat…”
“Ah gak ada apa-apa Bunda.”
“Kalau pun ada apa-apa, ngomong dong sama bunda. Siapa tau bunda bisa mencari jalan keluarnya. Jangan dipendam sendiri masalahnya.”
“Iya Bunda. Terimakasih,” ia mengangguk lalu menunduk lagi.
Aku malah jadi curiga. Ada apa sebenarnya ? Kenapa sikap Prima jadi berubah begitu? Jangan-jangan dia memakai obat-obatan terlarang atau apa pun itu. Yang jelas aku harus tahu, kenapa sikapnya jadi berubah drastis begitu ?! Beberapa hari kemudian, ketika Prima sedang kuliah, aku sengaja menggeledah kamarnya. Setiap sudut kuperiksa, termasuk laci-laci meja tulis dan lemari pakaiannya. Bahkan sampai ke kolong tempat tidurnya kuperiksa. Tapi tak kutemukan apa-apa. Aku belum puas juga.
Ketika pandanganku tertumbuk ke sebuah laptop di atas meja tulis, iseng-iseng kubuka dan kuaktifkan laptop itu. Kuperiksa isi laptop itu. Tidak ada sesuatu yang menyimpang. Tapi ketika kulihat ada folder berjudul Khayalanku, iseng-iseng kubuka folder itu. Ternyata isinya semacam curhat Prima pada dirinya sendiri…. Tahukah dia kagumku padanya di pandangan pertama? tahukah dia hari-hari berikutnya jadi penuh halusinasi di jiwa mentah ini? namun aku tahu, ini tak boleh.
Aku tahu ini harus selalu berbalut putih bersih meski putih yang menyiksaku karena bayang indah itu menggoda selalu dan payah kutepiskan Pagi itu makin nyata bahwa sosok itu terlalu indah tuk dipalingi Tapi nafasku jadi sesak karna ingat, ini tak boleh meski hasrat kian menggila walau aku terombang ambing bak perahu patah kemudi di tengah samudra nan sarat gelombang oh, ampuni aku karna aku semakin mengagumimu meski tahu ini salah Aku tercenung di depan laptop itu. Dengan benak penuh tanda tanya.
Samar- samar aku menemukan jawabannya. Tapi aku kah yang dikaguminya itu ?. Kalau merujuk kepada kata-kata terakhir (meski tahu ini salah), mungkin sosok yang dimaksud itu memang aku. Lalu apa yang harus kulakukan ? Entahlah. Aku jadi bingung sendiri. Dan laptop itu kumatikan lagi. kemudian keluar dari kamar anak tiriku. Dan masuk ke dalam kamarku, dengan perasaan bercampur aduk.
Pertanyaan itu pun makin membulat. Tak lagi terpecah-pecah. Seandainya ia mendambakanku, apa yang harus kulakukan ? Bukankah aku ini sosok pengganti ibu kandungnya ? Apakah ia merasa makin terobsesi olehku sejak melihatku cuma bercelana dalam saja pada waktu mau memberikan tanda bukti pengiriman paket dari Mama itu ? Usia Prima sudah 18 tahun. Pasti sudah mulai membayangkan lawan jenisnya. Dan wajar saja seandainya ia tergiur olehku, karena aku punya wajah dan tubuh yang punya daya tarik kuat, sehingga ayahnya pun mengagumiku sejak lama sebelum menjadi suamiku. Lagipula aku ini bukan ibu kandung Prima…! Tapi kenapa sikapnya harus berubah drastis, menjadi pendiam dan pemurung seperti itu ? Lalu aku ingat salah satu artikel psikologi, yang antara lain mengutarakan, bahwa tiap orang punya sikap berlainan untuk menanggapi sesuatu yang dianggap luar biasa bagi mereka.
Lalu…aaaah…daripada berkepanjangan memikirkan semuanya itu, kalau aku memang merasa kasihan kepada Prima, yang mungkin merasa tersiksa sendiri dengan obsesinya itu, kenapa aku tidak membuktikannya saja. Kenapa aku tidak mencari jawaban pada dirinya langsung, tanpa harus bertele-tele memikirkannya? Tanpa keraguan lagi, ketika Prima tampak baru pulang kuliah, kupanggil ia ke ruang depan. Dan kataku,
“Nanti malam, kalau yang lain sudah pada tidur, kamu masuk diam-diam ke dalam kamar bunda ya. Tapi awas…jangan sampai ada yang lihat. Terutama Nanda jangan sampai tau.”
“Iya…iya Bunda…tapi…ada apa Bun ?” tanya Prima dengan tatapan bersorot ragu.
“Ada sesuatu yang sangat rahasia dan hanya kamu yang boleh tau.”
“Iya Bun.”
“Pintu kamar bunda takkan dikunci. Kalau bunda udah ketiduran, bangunin aja ya.”
“Iii…iya Bun,” Prima mengangguk, meski masih tampak bingung.
Saat itu hari sudah menjelang malam. Aku pun masuk ke dalam kamarku, lalu mandi sebersih mungkin. Beberapa saat kemudian, aku dan kedua anak tiriku menyantap makan malam di ruang makan. Nanda kelihatan seperti biasa saja, sebelum mulai makan ia menepuk-nepuk pinggiran meja makan, sambil menggoyang-goyang kepalanya, seolah sedang memainkan alat musik seperti bongo, combo dan sebangsanya. Dan Prima tampak serius. Langsung makan tanpa menengok ke kanan kirinya lagi.
Saat itu suamiku sedang berada di Palembang. Menurut telepon yang kuterima tadi siang, suamiku akan melanjutkan perjalanan ke Pekanbaru, lalu ke Medan, kemudian pulang. Menurut perkiraanku, suamiku baru akan pulang sekitar seminggu lagi, bahkan mungkin lebih lama lagi.
“Nanda keliatan gembira banget,” kataku waktu kami sudah mulai makian,
“Ada apa nih ? Dapet cewek cantik ya ?”
“Nggak Bunda,” sahut Nanda,
“grup basket saya lolos ke babak semi final.”
“Ohya ?! Hebat dong. Kapan semi finalnya dimulai ?” tanyaku.
“Besok Bunda. Doain biar bisa lolos ke grand final yaaa….!”
“Iya, iya…bunda doain…,” sahutku sambil tersenyum,
“Terus kalau jadi juara, hadiahnya apa ?”
“Nggak tau. Katanya sih juaranya akan mendapat sepeda sport.”
“Sepeda satu buat satu grup ?”
“Seorang satu, Bunda. Pemain cadangan juga dapat sepeda. Hehehee…dapet sepeda juga lumayan lah.”
“Iyalah. Kalau hadiah dari suatu prestasi, jangan dilihat dari harganya.”
“Iya Bunda,” Nanda mengangguk-angguk sambil tersenyum ceria.
Sementara Prima tetap serius menyantap makan malamnya, tanpa memberi komentar apa-apa. Nanda duluan meninggalkan ruang makan. Pada saat itulah aku menepuk tangan kiri Prima sambil berkata setengah berbisik,
“Jangan lupa…setelah Nanda tidur, bunda tunggu ya.”
“Iya Bunda,” Prima mengangguk sopan.
“Tapi yakinkan dulu bahwa Nanda sudah mengunci pintu kamarnya,” kataku sambil bangkit dari kursiku.
“Iya.” Lalu aku melangkah menuju kamarku.
Tanpa mengetahui apa yang akan terjadi nanti. Tapi aku sudah bertekad untuk membuat Prima riang kembali seperti dahulu. Meski mungkin dengan cara yang tidak patut. Jujur, aku mulai degdegan waktu membayangkan apa saja yang mungkin terjadi setelah Prima masuk ke dalam kamarku nanti. Tapi aku sudah siap untuk melakukan apa pun, asalkan Prima ceria kembali seperti dulu. Lewat jam sepuluh malam, aku sudah rebahan di atas tempat tidur, dengan mengenakan kimono yang terbuat dari bahan sejenis handuk.
Saat itu aku membelakangi pintu kamarku, dengan kimono yang sengaja kubuka lebar, sehingga kalau Prima masuk nanti…pastilah ia bisa melihat paha dan celana dalam putihku. Saat itu aku pura-pura tidur sambil memeluk bantal gulingku. Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi handle pintu kamarku diputar. Aku pura- pura tidur. Dan seolah tak mendengar apa-apa. Tapi mataku yang dipicingkan ini terbuka sedikit…sedikit sekali…mengamati ke arah cermin di dinding (karena dinding di dekat tempat tidurku dipasangi kaca cermin full, sekujur dindingnya ditutupi cermin tebal itu).
Kulihat Prima masuk, lalu menutupkan kembali pintu perlahan-lahan dan tak menimbulkan suara sedikit pun. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya setelah ia melihat bagian belakang paha dan celana dalam putihku ini. Dan ia memang tertegun agak lama di dekat bedku. Mungkin ia sedang menyaksikan sesuatu yang sangat mendebarkannya…entahlah. Yang jelas, beberapa detik kemudian ia berusaha “membangunkanku”.
“Bun…Bunda….” panggilnya setengah berbisik.
Aku pura-pura tak mendengar suaranya itu. Dan seolah sedang tidur nyenyak sekali. Lalu…kurasakan tangannya menyentuh betisku. Menggoyangkannya sedikit sambil berkata perlahan,
“Bunda….Buuun….Bunda….” Aku membalikkan tubuh sambil menggesek-gesek mataku.
Lalu bangun sambil menggeliat. Dan menatap wajah tampan anak tiriku. Aku pura-pura menguap. Lalu bertanya perlahan,
“Nanda udah tidur ?”
“Udah, tadi saya intip dari pintu kamarnya, beneran udah tidur,” sahutnya.
“Kunciin dulu pintunya Pri…” kataku sambil menunjuk ke pintu kamarku yang tertutup, tapi kelihatan belum dikunci. “Iya Bunda…” sahut Prima sambil melangkah ke arah pintu, lalu menguncikannya dan kembali menghampiriku. “Duduklah…bunda mau ngomong banyak,” kataku sambil menepuk kasur di sebelah kananku.
Sebenarnya di kamarku ada sofa. Tapi aku ingin mengajaknya ngobrol di atas tempat tidur. Dan Prima duduk di pinggiran bedku, agak merapat ke sisi kananku.
“Pri…bunda ingin kamu jawab sejujur- jujurnya ya,” kataku sambil menepuk lutut Prima yang saat itu mengenakan celana pendek abu-abu dan baju kaus oblong putih.
“Soal apa Bunda ?” Pri menatapku dengan sorot takut-takut.
“Sikapmu itu lho…kenapa belakangan ini kamu keliatan murung terus ? Ngomong dong terus terang sama bunda. Ada apa ?”
“Ah…gak ada apa-apa,” sahut Prima sambil menunduk.
“Mustahil gak ada apa-apa. Pasti ada sesuatu yang membuatmu berubah gitu,” kataku sambil membelai rambutnya yang agak gondrong,
“Kamu gak merasa kalau bunda sayang sama kamu ?”
“Iya Bunda….saya merasakannya.”
“Nah kalau gitu, kenapa kamu masih merahasiakannya sama bunda ? Coba jujur aja, ada apa ? Siapa tau bunda bisa bantu cari jalan keluarnya.” Tiba-tiba Prima turun dari bedku.
Lalu berlutut di lantai, sambil menempelkan wajahnya di lututku. Dan terdengar suaranya sendu,
“Bunda…maafkan saya, Bunda…” Aku agak kaget.
Tapi seketika itu juga berusaha menguasai diriku sendiri. Lalu kubelai rambut anak tiriku sambil berkata lembut,
“Memangnya apa kesalahanmu, sayang ? Bunda gak merasa kamu melakukan kesalahan…selama ini bunda merasa kamu selalu bersikap baik pada bunda. Cuma belakangan ini kamu keliatan murung terus. Bunda ingin kamu ceria lagi seperti dulu. Apa yang bisa bunda lakukan supaya kamu jadi periang lagi ?”
“Saya…saya ini anak yang tak tau diri, Bunda.”
“Kenapa kamu bisa ngomong begitu ? Ayo ngomong dong terus terang. Seorang laki-laki harus berani jujur. Katakanlah sejujurnya…ada apa sayang ?” Prima tidak menyahut.
Mukanya tetap disembunyikan di antara kedua lututku. Maka kutarik lengannya sambil berkata,
“Duduk lagilah di sini. Jangan berlutut seperti itu.” Prima duduk lagi di sebelah kananku, dengan kepala tertunduk.
Lalu terdengar suaranya ragu,
“Kalau saya berterus terang, pasti Bunda marah.”
“Gak,” sahutku,
“bunda janji, kamu ngomong apa pun bunda takkan marah.” Prima menatapku, masih bersorot sangsi.
Lalu menundukkan kepala lagi sambil berkata,
“Saya memang punya keinginan yang mustahil. Saya…saya ingin menyayangi Bunda lebih daripada sayangnya anak kepada ibunya.” Aku tersenyum.
Dengan lembut kubelai rambutnya sambil berkata setengah berbisik,
“Bunda sudah tau kok…kamu punya perasaan lain pada bunda….sejak awal berjumpa pun bunda sudah merasakannya…” “Lalu…Bunda marah?” “Nggak,” sahutku sambil melingkarkan lenganku di lehernya,
“bunda malah tambah sayang padamu, Pri…” Ucapan itu kuakhiri dengan kecupan hangat di pipinya.
Ia tampak kaget. Menatapku dengan bola mata bergoyang. Lalu terdengar suaranya bergetar,
“Terima kasih Bunda…terima kasih….”
“Tapi seperti bunda bilang berkali-kali tadi…semua ini harus dirahasiakan, ya sayang,” kataku sambil mencolek-colek bibir dan hidung anak tiriku yang tampan rupawan itu.
“Iya Bunda….saya bersumpah akan merahasiakannya….”
“Hush, gak usah pake sumpah segala. Dengan janji juga cukup.”
“Iya, saya berjanji akan merahasiakannya.”
“Terus sekarang mau ngapain ? Mau tidur sama bunda ?” Prima tampak kaget lagi mendengar pertanyaanku barusan, “E…emangnya boleh tidur sama Bunda ?” tanyanya hampir tak terdengar.
“Boleh,” sahutku sambil tersenyum,
“Asalkan sikapmu ceria lagi seperti dulu.”
“Iya Bunda…iya…” Prima mengangguk- angguk.
“Dan bangunnya harus subuh…sebelum orang-orang pada bangun.”
“Iya, tiap hari juga saya bangun gak pernah lebih dari jam setengah lima pagi.”
“Ya udah…mendingan kita tidur yok…” kataku sambil menarik pergelangan tangan anak tiriku, mengajaknya berbaring di sisiku.
Ia tampak senang sekali mengikuti ajakanku. Tapi tahukah ia betapa degdegannya aku ketika ia benar-benar sudah merebahkan diri di sampingku ? Tahukah ia bahwa hasratku mulai menggeliat, meski tahu bahwa ini tidak benar ? Entahlah. Yang jelas, ketika kami sama- sama tiduran dengan posisi miring dan berhadapan muka, kulihat senyum Prima sudah tersungging lagi di mulutnya. Senyum yang paling aku sukai pada dirinya. Dan berharap semoga senyum itu tetap tersungging jika berhadapan denganku.
Lalu…mulailah kutempuh perjalanan baru bersama anak tiriku yang sudah lama punya “perhatian khusus” padaku itu. Berawal dari sontekan jemariku di hidungnya, disambut dengan tatapan dan senyum meluluhkan, berkelanjutan dengan pelukanku,
“Sekarang bunda punya bantal guling hidup….” kataku setengah berbisik.
Dan ia tersenyum, lalu memelukku juga dengan hangatnya.
“Boleh cium bibir Bunda?” tanyanya dengan suara tergetar.
“Boleh…ciumlah…” sahutku sambil mendekatkan bibirku ke bibirnya.
Bibirnya menggamit bibirku, yang kusambut dengan cengkraman bibirku, lalu menjadi lumatan, lalu pelukan kami semakin erat. Dan nafas Prima mulai terdengar tak beraturan. Tentu aku tahu apa sebabnya. Tapi sebagai wanita yang sudah punya jam terbang tinggi, tentu saja semuanya ini tak cukup bagiku. Maka sengaja kumunculkan payudaraku dari belahan kimonoku, lalu kuangsurkan padanya seraya berkata,
“Ciumin ini juga boleh….”
“Oh, Bunda…..ini…ini indah sekali….”
“Ayo anak bunda cepetan nen…” Meski masih canggung, Prima mengulum pentil payudaraku sambil memejamkan matanya. “Deuh…anak manja lagi netek nih ya ?” kataku perlahan sambil mengelus rambut anak tiriku.
“Enak nenen bunda ?” godaku ketika Prima giat-giatnya menyedot-nyedot pentil tetekku.
Ia mengangguk-angguk tanpa suara, karena mulutnya sedang menyelomoti pentil buah dadaku. Diam-diam kulepaskan kimonoku, sehingga tubuhku yang tinggal mengenakan celana dalam saja ini terbuka di depan mata Prima. Prima melepaskan kuluman dan isapannya. Lalu duduk sambil menatapku… memandang dari ujung kaki sampai kepalaku.
“Bunda masih ingat…pertama kali kamu tergoda berat sama bunda, sejak mengantarkan bukti pengiriman paket itu kan ?” tanyaku sambil duduk dan menyingkirkan kimonoku ke dekat bantal.
“Kok Bunda tau ?” Prima tampak heran.
“Taulah…soalnya sejak saat itu kamu suka bermurung-murung dan jarang bicara.”
“Iya Bunda…tebakan Bunda benar…”
“Nah…sekarang bunda mau diapain kalau sudah begini ?” tanyaku sambil menciumi pipinya.
“Oooh…Bunda…” Prima merangkul leherku, lalu mendesakkan tubuhku sampai terlentang di bawah himpitannya,
“Gak nyangka…impian saya akan menjadi kenyataan begini….ternyata Bunda sangat baik hati….” Tanpa canggung-canggung lagi Prima mulai berani menciumi bibirku, sementara tangannya terkadang meremas payudaraku, terkadang memeluk leherku.
Dan semuanya itu kusambut dengan sepenuh gairahku. Tapi ditengah celucupan dan remasan Prima ini, diam-diam tanganku mulai menyelidik. Menyelinap ke balik celana pendek anak tiriku. Dan…kusentuh zakar Prima yang sudah sangat tegang…berarti dia memang sudah terseret ke dalam arus nafsu manusia normal. Dan aku tahu pasti bagaimana cara untuk meredakan arus itu. Aku pun sudah telanjur ingin melihat Prima ceria seperti dulu lagi. Karena melihat dia bermurung-murung seolah menjadi beban psikologis bagiku.
Namun masalahnya…Prima itu anak tiriku, yang seharusnya kuanggap sebagai anakku sendiri. Prima pun harus menganggapku sebagai pengganti ibu kandungnya. Tapi kalau nafsunya tidak diredakan, aku kasihan juga. Karena pasti ia akan tersiksa dibuatnya nanti. Dan mungkin sikapnya malah akan lebih murung lagi besok.
“Sebentar,” kataku sambil menepiskan mulut dan tangan Prima dari payudaraku. L
alu aku turun dari bed dan melangkah ke meja rias. Kuambil baby lotion, lalu kembali menghampiri Prima sambil berkata,
“Buka celana pendek dan celana dalammu sayang…” Prima menatapku dengan sorot sangsi.
Tapi akhirnya ia melepaskan celana pendek dan celana dalamnya. Aku terkesiap menyaksikan zakar anak tiriku itu, yang memang jauh lebih “tinggi tegap” daripada penis ayahnya. Namun aku tak mau berkomentar apa-apa. Lalu kulumuri zakar Prima dengan baby lotion, kutuangkan juga baby lotion itu ke telapak tanganku. Dan…mulailah tanganku beraksi, mengocok penis Prima dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku membantu beraksi dengan mengelus-elus puncaknya. Ia mulai menggeliat dan berdesah,
“Aaaaaah….Bundaaa….aaaaah…. Bundaaaa….”
“Ayo…bayangkan aja kamu sedang ML sama bunda…biar sampai ngecrot…biar kamu tenang nanti…” ucapku sambil mengintensifkan kocokanku.
“Iiiya Bunda…oooh….Bunda….” Prima berdesah-desah terus, sementara kedua tangannya tiada hentinya meraba-raba tubuhku, terutama payudaraku…seringkali mendapatkan remasan hangatnya.
Cukup lama kukocok penis anak tiriku. Sampai pada suatu saat ia merangkul leherku sambil menyembunyikan mukanya dengan merapatkan pipinya ke pipiku,
“Bundaaa…oooh…sa…saya udah…udah sampai….” Dan…creeet….crooot…crooot…craaaat… cret..cret..cret….air mani Prima menyemprot-nyemprot perutku. Kental dan hangat dan banyak sekali….!
Tapi Prima tidak tahu bahwa diam-diam kemaluanku juga sudah basah, karena sejak tadi pun nafsuku sudah menggeliat…. Setelah Prima terkapar dengan penis tampak lunglai, aku turun dari tempat tidur, lalu melangkah ke kamar mandi. Tanganku berminyak-minyak, perutku juga berlepotan air mani anak tiriku, sehingga aku merasa perlu membersihkannya.
Di dalam kamar mandi kutanggalkan celana dalamku, satu-satunya benda yang sejak tadi tetap kubiarkan melekat di tubuhku. Kucuci perutku sampai bersih. Kedua tanganku juga. Lalu aku berjongkok untuk pipis, sekaligus mencuci kemaluanku yang masih dibasahi oleh lendir nafsuku. Tapi…ketika aku sedang menyemprotkan air hangat ke kemaluanku yang sudah disabuni, hasratku menggeliat lagi. Membayangkan enaknya kalau liang kewanitaanku dimasuki alat vital lawan jenisku.
Aaaah…apakah aku harus meredakan nafsu ini dengan bermasturbasi di dalam kamar mandi ini ? Ataukah aku harus merangsang Prima sampai ia siap untuk menyetubuhiku ? Ketika aku masih berdiri linglung di dalam kamar mandi, terdengar suara Prima di belakangku,
“Bunda lagi ngapain ?” Aku terkejut dan agak gugup, karena saat itu aku sedang bertelanjang bulat. Maka kututupi kemaluanku, lalu menghadap ke arah Prima yang telanjang juga,
“Bunda lagi telanjang, sayang.”
“Kan tadi juga Bunda telanjang ?!” sahut Prima sambil memegang kedua pangkal lenganku.
“Hihihiii…iya…tapi tadi kamu belum lihat ini kan ?” kataku sambil menjauhkan kedua telapak tanganku dari kemaluanku.
“I…iiiya, Bunda…oooh…” mata Prima melotot, pandangannya terpusat ke kemaluanku,
“Bo…boleh saya sentuh yang itu ?” Prima menunjuk ke arah kemaluanku.
“Boleh…tapi harus ini yang nyentuhnya,” sahutku sambil menarik penis Prima yang masih lemas.
Dan mencolek-colekkan moncongnya ke mulut kemaluanku.
“Ooooh…Bunda…Bundaaa….oooh….. enak Bun…oooh…” Memang penis Prima masih berlumuran baby lotion, sementara kemaluanku pun belum dikeringkan.
Sehingga moncong penis anak tiriku terasa licin waktu kuelus-eluskan ke mulut kemaluanku….
0 komentar:
Posting Komentar